Snippet

Pura Desa Batuan

Pura Puseh Desa Batuan


Pura Desa dan Pura Puseh Desa Batuan merupakan sebuah bangunan cagar budaya yang berada di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali. Area parkir Pura Desa – Puseh Batuan berada di seberang jalan, dimana terdapat bangunan panggung tempat pementasan Tari Gambuh, serta menjadi tempat dimana pengunjung mendapat pinjaman secarik kain yang wajib dipakai untuk masuk ke dalam pura.
Untuk masuk ke dalam pura yang berada di tepi Jalan Raya Batuan ini memang tidak perlu membeli tiket, namun pengunjung diharapkan memberi sumbangan untuk membantu pemeliharan pura, yang berkisar Rp. 10.000 per orang. Lebih besar tentu lebih baik.
dengan gerbang masuk berupa candi bentar terbuat dari susunan bata merah yang dihias ornamen bunga dan bentuk-bentuk ikal yang lazim ada di bangunan pura. Candi bentar ini membatasi nista mandala (jaba pisan, bagian luar pura) dengan madya mandala (jaba tengah, bagian tengah pura).
Pada dinding sebelah kiri terdapat tengara dalam huruf Bali dan latin yang berbunyi: “Pr Puseh Pr Desa, Desa Adat Batuan, Saka 944″, yang memberi informasi tahun berdirinya Pura Desa – Puseh Batuan ini, yaitu 944 Saka atau 1020 M. Dengan demikian Pura Desa – Puseh Batuan ini sebentar lagi akan genap berusia 1000 tahun.



Pura Desa – Puseh Batuan dijaga sepasang raksasa pada sisi kiri kanan gerbang candi bentar. Berbeda dengan dwarapala, kedua raksasa ini tidak dipersenjatai dengan gada dan mereka berada dalam posisi berdiri, sementara dwarapala biasanya membawa sebuah gada dan satu kakinya menekuk.

Pura Desa – Puseh Batuan pada bangunan khas Bali yang disebut Kori Agung, yang merupakan pintu sebagai tempat keluar masuknya para dewa, dan membatasi jaba tengah dengan jaba jero (utama mandala).
Beberapa orang turis tampak tengah masuk ke halaman dalam pura melalui gerbang masuk kecil yang berada di sebelah kiri Kori Agung. Terdapat satu gerbang kecil lagi di sebelah kanan sebagai pintu keluar.

Pura Desa – Puseh Batuan pada sebuah bale panjang yang disebut Bale Kulkul, tempat diletakkannya kulkul (kentongan tradisional Bali) yang dibunyikan untuk mengumpulkan warga ketika ada acara.

Pura Desa – Puseh Batuan yang memperlihatkan ukiran kepala Kala di atas pintu, dan sepasang patung raksasa yang menjaga di depan pintu Kori Agung, sepasang naga di ujung bawah tangga, dan sepasang dwarapala lengkap dengan gada pada posisi agak ke depan. Ada sepasang raksasa lagi yang masing-masing berada dalam meru beratap ijuk dengan mahkota di puncaknya, dengan tulisan “Sedahan Apit Lawang”.

Pura Desa – Puseh Batuan di bagian jaba jero, ketika beberapa orang turis tengah mendengar penjelasan pemandunya sambil berlindung dari sengat matahari.
Bagian tengah yang terbuka tanpa pohon peneduh memang terasa panas menjelang siang hari. Berbeda jika pura berada di pegunungan, seperti Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, yang terasa tidak begitu panas meskipun siang hari karena hawa dan silir angin yang dingin.

Pura Desa – Puseh Batuan pada salah satu bale dengan tiga buah lukisan yang sangat indah dengan kayu ukir berwarna keemasan. Ketiga lukisan ini tampaknya menggambarkan lakon Ngruna-Ngruni atau Batara Surya Krama.
JavaDwipa ini menceritakan kisah Batara Surya yang menerima bidadari kakak beradik Dewi Ngruna dan Dewi Ngnini sebagai istrinya. Sementara itu Dewi Kastapi, Putri Batara Wisnu, membuahkan dua telur dalam perkawinannya dengan burung Bhirawan.
Atas perintah Batara Guru, telur-telur itu diberikan kepada Dewi Ngruna dan Dewi Ngruni. Telur milik Dewi Ngruna menetas menjadi dua ekor burung, yang tua diberi nama Sempati dan yang muda diberi nama Jatayu. Telur milik Dewi Ngruni menetas menjadi seekor ular besar yang diberi nama Naga Gombang, dan ular kecil yang diberi nama Sawer Wisa.
Dikisahkan, Dewi Ngruna mengutuk Dewi Ngruni menjadi raseksi lantaran marah saat Naga Gombang dan Sawer Wisa mematuk kedua burungnya untuk membela Dewi Ngruni yang kalah beradu kepintaran. Dewi Ngruni pun lari menemui Batara Surya, dan atas saran suaminya, Dewi Ngruni kemudian menemui Batara Wisnu untuk meruwatnya.
Sementara itu kahyangan kewalahan diserbu Prabu Sengkan Turunan dan balatentara raksasanya dari Kerajaan Parangsari, yang menginginkan Dewi Ngruna dan Ngruni untuk menjadi permaisurinya. Batara Wisnu pun menjanjikan akan meruwat Dewi Ngruni dan mengembalikannya ke ujud semula namun ia harus menculik Retna Jatawati, putri Prabu Sengkan Turunan.
Dengan dibantu Jatayu, Dewi Ngruni berhasil membawa Dewi Jatawati, dan Jatayu juga berhasil menghancurkan bala tentara raksasa serta mengalahkan Prabu Sengkan Turunan.
Sebagai ungkapan terima kasih, Batara Wisnu menganugerahkan Retna Jatawati untuk dijadikan istri oleh Jetayu. Dewi Ngruni kembali menjadi bidadari yang cantik dan menjadi istri Batara Surya kembali.
Pada lukisan di atas Batara Wisnu digambarkan menunggang lembu, meskipun lembu dikenal sebagai tunggangan Batara Siwa, sementara tunggangan Wisnu adalah Garuda. Namun pada tepi langit-langit juga terdapat patung garuda pada posisi yang biasa ditunggangi Wisnu.

Pura Desa – Puseh Batuan pada sebuah patung raksasa dengan ukiran halus, demikian juga ukiran pada patung yang berada di latar belakang namun dengan detail muka yang berbeda.

Pura Desa – Puseh Batuan pada bale dimana ketiga lukisan itu disimpan, dan pada meru di sebelah kanan terdapat pula sebuah lukisan dengan corak yang sama.

Pura Desa – Puseh Batuan pada bagian luar dengan ornamen ukir yang njlimet, halus dan indah. Pura tua ini telah mengalami beberapa kali renovasi untuk sampai kepada bentuknya saat ini.
Pura Desa – Puseh Batuan merupakan bagian dari pura Khayangan Tiga yang diajarkan kepada masyarakat Hindu Bali oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha yang datang dari Jawa pada 923 Saka atau 1001 Masehi. Pura Khayangan Tiga adalah Pura Desa untuk pemujaan Dewa Brahma, Pura Puseh untuk pemujaan Dewa Wisnu, dan Pura Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa.

Leave a Reply